Search This Blog

Thursday, December 29, 2011

Religious Fashion Show

Now Jesus turned to address his disciples, along with the crowd that had gathered with them.  “The religion scholars and Pharisees are competent teachers in God’s Law.  You won’t go wrong in following their teachings on Moses.  But be careful about following them.  They talk a good line, but they don’t live it.  They don’t take it into their hearts and live it out in their behavior.  It’s all spit-and-polish veneer.

Instead of giving you God’s Law as food and drink by which you can banquet on God, they package it in bundles of rules, loading you down like pack animals.  They seem to take pleasure in watching you stagger under these loads, and wouldn’t think of lifting a finger to help.  Their lives are perpetual fashion shows, embroidered prayer shawls one day and flowery prayers the next.  They love to sit at the head table at church dinners, basking in the most prominent positions, preening in the radiance of public flattery, receiving honorary degrees, and getting called ‘Doctor’ and ‘Reverend’.  

Don’t let people do that to you, put you on a pedestal like that.  You all have a single Teacher, and you are all classmates.  Don’t set people up as experts over your life, letting them tell you what to do.  Save the authority for God, let him tell you what to do.  No one else should carry the title of ‘Father’, you heaven only one Father, and he’s in heaven.  And don’t let people maneuver you into taking charge of them.  There is only one Life-Leader for you and them – Christ.  

Do you want to stand out?  Then step down.  Be a servant.  If you puff yourself up, you’ll get the wind knocked out of you.  But if you’re content to simply be yourself, your life will count for plenty.

Mathew 23:1-12 The Message


Saya rasa ayat ini bukan hanya berlaku untuk para pendeta, ahli teologi agama, atau bahkan siswa siswi STT saja.  Ayat ini juga berlaku untuk kita para pelayan Tuhan yang sering kali berkutat di dunia “rohani”, dalam pelayanan di lingkup gereja.

Seringkali secara tidak sadar, posisi dan jabatan kita dalam pelayanan di gereja membuat status sosial kita “naik”, menjadi lebih “tinggi” dari jemaat yang sekedar datang hari Minggu untuk beribadah.  Seolah-olah kita tampak lebih “suci” dan “hebat” dalam soal kerohanian daripada mereka.  Tentu saja kita lebih banyak menghabiskan waktu di gereja dalam pelayanan kita, belum ditambah kelas khusus untuk melengkapi para pelayan dengan firman Tuhan, persekutuan-persekutuan “wajib” bagi para pelayan, pertemuan-pertemuan doa, dan juga mungkin menghadiri lebih dari 1 kali kebaktian karena kita melayani beberapa kebaktian sekaligus.  Itu membuat kita, secara pengetahuan, akan mendapatkan lebih banyak porsi daripada jemaat.

Secara tidak sadar, kita membuat jati diri yang salah di hadapan manusia.  Di gereja, orang selalu mengenal kita baik, luar biasa, pelayanan yang berapi-api, punya hubungan yang intim dengan Tuhan.  Kita selalu terlihat dan tampak “suci” dan seakan tak pernah melakukan kesalahan dan dosa.  Namun, bagaimana kehidupan kita di luar gereja?  Bagaimana kehidupan kita sehari-hari?  Apakah integritas dan nilai-nilai yang selalu kita bicarakan di dalam gereja benar-benar ada dan tertanam dan kita lakukan dalam kehidupan kita?

Dengan level kita yang tadi kita katakan “lebih tinggi” dari jemaat, masihkah kita ada di level berjuang untuk tidak melakukan dosa?  Masihkah kita ada di level berjuang untuk melakukan saat teduh kita setiap pagi?  Masihkah kita ada di level berjuang untuk mengampuni orang lain?  Jika kita memang sudah “lebih tinggi” dari mereka, seharusnya kita sudah tidak ada lagi di level itu.  Tidak perlu lagi sesi pengampunan dosa dan pemulihan luka batin karena kekecewaan.

Secara tidak sadar, kita telah menjadi orang Farisi di gereja.  Tahu dan mengerti semua hal, namun tidak menghidupi kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.  Itu semua sia-sia, dan The Message menyebutkan bahwa itu semua hanya sebuah fashion show, memamerkan dan memakai segala sesuatu yang baik dari kehidupan kita, namun melepaskan dan meletakkannya kembali setelah fashion show tersebut berakhir, kemudian kembali memakai pakaian lama kita setelahnya.  Ketika kita memasuki “dunia rohani” kita, seringkali kita mengambil “baju terbaik” kita, dan menyembunyikan baju sehari-hari kita, jangan sampai mereka melihatnya, namun setelah “keluar” dari sana, kita kembali melepaskan baju terbaik tersebut dan kembali dengan kenyamanan “pakaian” lama kita setelah keluar dari gereja.

Ketika ada orang lain yang bertanya dan konseling kepada kita, kita dapat melontarkan berbagai macam ayat untuk menjawab setiap pertanyaan mereka.  Bahkan jika perlu “menyuruh” mereka berbuat ini dan itu seperti yang ditulis di Alkitab.  Seakan-akan kita menjadi lebih “tinggi” dari kita.  Ketika kita melakukan kesalahan, kita berusaha menutupinya dari orang-orang di lingkungan kerja sehingga mereka tidak tahu bagaimana sebenarnya kehidupan kita. 

Saudara, jika kita boleh mengenal dan mengerti tentang keselamatan dan kebenaran, itu hanyalah sebuah anugrah yang luar biasa, dan tidak semua orang mendapatkan anugrah itu.  Itu bukan hasil kekuatan kita, namun hanyalah benar-benar sebuah anugrah.  Jika saat ini kita telah mengenal kebenaran, kita harus belajar untuk menghidupi kebenaran itu dalam keseharian kita.  Janganlah menjadi orang Farisi yang ada di dalam bait Allah.

No comments:

Post a Comment